Menjadi
ibu,anugerah terindah dari Nya. Menjadi ibu tak serta merta harus menjadi ibu
sempurna. Menjadi ibu adalah proses, proses yang akan mengantarkanmu pada
kebahagiaan. Menjadi ibu sungguh tak mudah, tapi akan kau temui cahaya hikmah
di dalamnya.
Ayya saat masih berusia 2 minggu. |
Alhamdulillah sudah hampir 3 tahun
saya menjadi seorang ibu. Ibu dari 1 anak perempuan yang saya beri nama Karima
Diyah Tsurayya atau akrab saya panggil Ayya. Tentu banyak sekali cerita dan
hikmah yang menghiasi keseharian saya.
Ada cerita gembira dan ada juga cerita suka duka di dalamnya. Terlepas dari
itu semua, saya merasa bahagia, saya merasa bersyukur bisa menjadi seorang ibu.
Hijrah dan Resign dari Pekerjaan.
Sebelum menikah saya adalah Dosen
Luar Biasa (DLB) atau Dosen Honorer di 3 Universitas di Provinsi Bengkulu. Saya
mengajar di Universitas Muhammadiyah Bengkulu, Universitas Terbuka dan juga
IAIN Bengkulu. Walau saya hanyalah Dosen Luar Biasa, tapi alhamdulillah, saya
sudah mengajar lebih dari seratus mahasiswa, dengan rentang usia yang juga
beragam. Saya pernah mengajar Bapak Polisi yang berumur sekitar 50 tahunan,
para pegawai BKKBN yang hampir seusia ayah saya dan juga Polisi berpangkat muda
yang baru saja lulus Akpol, alhamdulillah saya diberi kesempatan mengajar
mereka di program studi Ilmu komunikasi.
Saya juga pernah mengajar di Lebong
(menempuh 4 jam perjalanan dari Kota Bengkulu) dan juga Bengkulu Tengah.
Alhamdulillah semua itu saya lalui 1,5 tahun pascalulus dari UGM. Memang saya
sangat menyukai dunia pendidikan, terkhusus kegiatan belajar mengajar. Bagi
saya mengajar adalah proses healing
bagi saya pribadi. Ketika menyampaikan materi ataupun berdiskusi, saya
terkadang tertawa kecil di dalam hati, ketika melihat tingkat polah anak didik
saya. Ada yang sok tahu,ada yang selalu ingin bicara, ada yang memang
betul-betul pintar, ada juga yang pintar tetapi memilih untuk diam saja. Semua
itu membawa kebahagiaan tersendiri bagi saya.
Menginjak tahun kedua saya mengajar,
saya dilamar dengan seseorang (seorang
dosen juga dari Tanah Sulawesi, hanya saja berdomisili di Jakarta). Sejak
memutuskan menikah, maka saya hijrah ke DKI Jakarta dan benar-benar berhenti
dari kegiatan saya yakni dosen.
Tentu saja, ini adalah keputusan
yang berat, karena saat itu kondisi saya akan diajukan menjadi dosen kontrak
dan mendapatkan Nomor Induk Dosen Nasional (NIDN). Tentunya hal ini adalah hal
yang amat saya nanti sejak dulu sebagai pengajar. Hal ini juga bukan janji
kosong, karena kebetulan dosen kontrak sebelumnya yang mengisi jabatan sebagai
dosen tetap di Universitas Muhammadiyah Bengkulu lulus CPNS, sehingga 1 kursi
dosen kontrak (yang nantinya akan berproses menjadi dosen tetap yayasan)
kosong. Ini merupakan kartu joker bagi saya, seorang dosen komunikasi yang
memang ingin berkarir serius menjadi dosen. Tapi apa mau dikata, saya malah
memilih Jakarta dan meninggalkan impian saya menjadi dosen tetap di Bengkulu.
Toh menurut saya, karir saya nanti juga bisa dilanjutkan di DKI.
Kehidupan Awal di Jakarta
Salah Satu Sudut Jakarta (Mall Central Park, Jakarta Barat) |
Akhir Januari 2018, chapter baru hidup saya dimulai di
Jakarta, di salah satu rumah kontrakan di Jalan KH.Djunaedi Jakarta Barat. Saya
benar-benar bukan lagi menjadi seorang dosen, keseharian saya berubah. Bangun
pagi saya harus memasak, menyapu rumah, mencuci baju dan juga membereskan
rumah. Tiba sore hari saya kembali menyiapkan makan malam dan juga membereskan
rumah, begitu saja setiap hari.
Belum lagi circle pertemanan saya yang tiba-tiba mengecil. Tadinya di Kota
Bengkulu saya memiliki banyak teman. Sementara di Jakarta, teman saya hanyalah
suami dan tetangga kontrakan. Terkadang saya benar-benar merasa bosan, kadang
saya menangis sendirian di dalam kontrakan sambil mengeluh dalam hati, “Coba
dulu saya tetap mengajar saja.” Keseharian saya yang begitu-begitu saja,
membuat saya merasa sensitif, saya sering sekali marah-marah tanpa sebab pada
suami. Ya, suami saya bekerja dari jam 9 atau jam 10 pagi hingga malam pukul
9.30 wib malam baru pulang. Suami seringkali pulang ke rumah sekitar setengah
jam untuk makan siang saja, kemudian pergi lagi ke kantor. Rasa-rasanya saya
hampir depresi, tapi kesemua itu saya lalui, pokoknya saya harus kuat, saya
pasti bisa. Saya pun mengalihkan kesendirian saya dengan memasak beragam menu,
semuanya otodidak, dengan melihat resep di internet atau youtube.
Bulan kedua kami menikah. Saya
merasa aneh, mengapa saya haid hanya 1 hari kemudian berhenti? Saya merasa juga
di bagian pinggul saya amat terasa sakit. Saya berusaha mencari info dari
teman-teman terdekat saya yang sudah menikah. Mereka menyarankan saya agar
membeli testpack. Anjuran itu saya
ikuti, dua testpack saya gunakan saat
baru bangun tidur di pagi hari,dan ternyata memang dua garis, hanya saja garis
satunya masih buram. Karena masih penasaran, akhirnya saya berinisiatif pergi
ke dokter kandungan di RSAB Harapan Kita, Jakarta Barat. Setelah diperiksa,
saya dinyatakan positif hamil oleh dokter kandungan. Alhamdulillah, antara
perasaan senang dan takut, karena jujur saja saya merasa belum siap jadi ibu di
waktu itu.
Kondisi Hamil
Saat hamil, saya tidak mengalami
banyak kendala, hanya saja calon bayi saya selalu mengalami kekurangan berat badan.
Saya pun dianjurkan oleh dokter untuk banyak mengonsumsi es krim, alpukat dan
juga meminum Kental Manis 1 gelas tinggi. Belum lagi HB saya sering rendah,
sehingga saya harus meminum jus buah bit dan juga mengkonsumsi banyak daging
merah (daging sapi). Kondisi ini membuat BB saya naik 16 Kg di akhir masa
kehamilan, namun masih saja BB bayi di bawah normal.
Tentu saja saya sedih, kenapa susah
sekali naik BB badan calon anak saya ini? Kenapa harus saya yang banyak makan,
sementara BB bayi tidak juga naik? (Ya tetap, saya masih saja belum banyak
bersyukur dan mengeluh saat itu). Jujur saya belum sebijak sekarang saat itu.
Entahlah, mungkin karena saya masih merasa sedih dengan kondisi saya saat itu, “kok
saya malah jadi ibu rumah tangga?, ngapain
sekolah tinggi?,”.
Oh ya, walau saya berhenti menjadi
dosen tatap muka, tapi rezeki datang pada saya, dengan masih dipercayanya saya
menjadi dosen (tutor online Universitas Terbuka). Tapi saya masih saja ogah-ogahan bekerja, karena menurut saya
saat itu, lebih keren menjadi dosen tatap muka daripada hanya menjadi tutor
online. Sungguh tak pandai bersyukur saya saat itu.
Menginjak usia kehamilan 8 bulan, aku pun kembali ke Bengkulu untuk persiapan melahirkan. Karena memang tak ada keluarga dekat di Jakarta, maka aku memutuskan untuk melahirkan saja di Bengkulu, karena ada Bapak dan Mama di rumah.
Kehadiran Ayya
Bengkulu, 7 Oktober 2018, Ayya lahir
dengan BBLR (Berat Bayi Lebih Rendah) dengan cara operasi caesar (SC). Ayya
lahir dua minggu lebih cepat dari HPL yang ditetapkan Dokter. Saat menginjak
usia kehamilan 9 bulan, sudah dua dokter kandungan yang menyarankan untuk
segera operasi caesar, karena berat badan bayi di bawah normal, nutrisi dari ibu
sudah tak tersalurkan lagi saat itu. Jika terus menunggu hingga HPL dan ingin
lahiran normal, maka akan berbahaya bagi kondisi bayi.
Saya masih tak percaya, saya pergi
ke dokter ketiga, saat itu ke Rumah Sakit UmmiKOta Bengkulu, saya pergi ke
dokter Deddy, SPOg atas dasar rekomendasi kakak saya. Di dokter tersebut saya
memang langsung disarankan untuk operasi keesokan harinya, karena plasenta
sudah kering, sementara berat badan bayi di bawah normal. Dokter mengatakan
jika masih ingin menunggu lahiran normal, maka akan berbahaya bagi janin. Tentu
saja saya ketakutan dan khawatir. Saya pun menelepon suami saya yang ada di
Jakarta, saya bilang saya takut, saya khawatir kalau nanti janin saya
kenapa-kenapa. Akhirnya kami memutuskan agar saya dioperasi lusa, tepat di hari
Minggu, tanggal 7 Oktober 2018 di RSU Ummi Kota Bengkulu.
Malam sebelum dioperasi keesokan
harinya saya tak bisa tidur. Saya membayangkan apakah saya masih ada keesokan
harinya atau kah nanti akan meninggal?. Apakah operasinya lancar atau tidak?.
Tiba keesokan harinya, saya pun menjalani operasi, alhamdulillh lancar, kurang
dari 1 jam saya sudah keluar dari ruang operasi dan suda resmi menjadi seorang
ibu dari seorang bayi perempuan.
Alhamdulillah saya bersyukur, amat
bersyukur atas kelahiran Ayya. Namun ternyata, cobaan belum selesai. Keesokan
harinya Ayya harus masuk ke dalam incubator, karena BB nya yang kurang dari
batas sewajarnya. Akhirnya saya pulang ke rumah, tanpa membawa bayi. Ayya tetap
di RS sementara saya istirahat di rumah.
Bersama Ayya Kembali Ke Jakarta
Usia 2,5 bulan, saya memutuskan
membawa Ayya kembali ke Jakarta. Saya yakin bisa menjaga Ayya tanpa bantuan mama
saya. Memang bukan hal yang mudah, tapi saya harus memberanikan diri untuk
mandiri mengurus anak. Saya hanya berdoa, semoga saya dikuatkan dan bisa
menjadi Ibu yang baik untuk Ayya.
Tentu saja tak mudah mengasuh anak
sendiri di rumah, sementara suami sibuk bekerja. Saya harus jadi ibu pantang
menyerah dan mengurangi mengeluh. Saya harus mampu menahan keluh kesah, walau
sebenarnya capek luar biasa. Belum lagi harus begadang malam, ketika Ayya
maunya digendong terus, tidak mau ditidurkan di tempat tidur.
Ayya di taman Bermain (Palmerah, Jakarta Barat) |
Kalau misalnya saya mengeluh pada mama saya melalui telepon, justru malah dibilang, “Ya begitu jadi ibu, makanya kalau sama orang tua itu nurut, sekarang baru kerasa kan gimana jadi orang tua?,” ujar mama saya.
Ya begitulah saya harus kuat, kuat
menyiapkan hidangan makanan bagi suami, kuat menjadi ibu, kuat belanja bahan
makanan di pasar dan juga kuat membereskan rumah. Beruntung saya mempunyai
suami yang mau membantu pekerjaan sehari-hari, misalnya menjemur
pakaian,bergantian mencuci piring atau menyapu rumah. Alhamdulillah.
Hikmah Menjadi Ibu
Saat ini, saya sudah menginjak usia
30 tahun. Tentu saja pemikiran saya sudah mulai dewasa. Saya sudah jarang
mengeluh. Saya juga sudah bisa menerima status saya sebagai ‘Ibu Rumah Tangga’.
Memang, keinginan saya untuk menjadi dosen tatap muka kembali seperti masih
ada, tetapi qadarullah, setiap lamaran yang saya kirimkan belum juga bersambut.
Saya berpikir positif saja, bisa jadi kondisi sebagai ibu rumah tangga saat ini
adalah yang terbaik bagi saya.
Ayya dan Umi di Pantai Mutiara Buton Tengah (Sulawesi Tenggara) |
Ada Ayya yang membutuhkan perhatian
saya, ada keluarga kecil saya yang membutuhkan saya full time di rumah. Toh, saya masih diberi kesempatan mengajar
walau sebagai tutor online Universitas Terbuka. Saya bersyukur juga, karena
saya bisa meluangkan banyak waktu untuk berkreasi membuat ragam masakan.
Alhamdulillah saya juga merasa bahagia, karena Ayya tumbuh sehat dan ceria.
Saya juga merasa bahagia karena saya bisa dan ternyata mampu mengurus rumah
tangga walau masih harus banyak belajar.
Saya berusaha mencontoh hal-hal baik
yang diberikan oleh mama saya. Mama saya berpesan agar seringlah memasak di
rumah untuk keluarga. Selain bisa menghemat biaya, tentu saja akan lebih sehat
dan higienis. Kemudian ketika memasak, sebisanya harus cantik, mandi terlebih
dahulu dan juga cantik, tak masalah menggunakan make up tipis dan tampil wangi untuk di rumah. Menyenangkan anak
dan suami adalah prioritas. Jangan cepat tersinggung, berusahalah dewasa,
berusaha menerima keadaan. Jangan lupa olahraga, karena ibu itu kalau bisa jangan
sering sakit. Jaga kondisi pikiran agar tetap bahagia, karena bukannya apa,
terkadang penyakit itu sumbernya dari pikiran. Saya berusaha mengikuti
nasihat-nasihat dari mama saya,tentunya ini juga demi kebaikan saya.
Menjadi Ibu adalah anugerah terindah
dari Nya. Saya bersyukur, walau ‘masih’ di rumah saja, saya bisa menggali
potensi saya yang lain, yakni memasak. Selain itu, sudah 2 tahun ini saya
menjalankan bisnis online saya yang saya beri nama @yueayuustore (instagram),
walau masih kecil-kecilan, tapi saya banyak belajar. Dimulai dari menjadi
menjadi reseller, akhirnya saat ini saya sudah bisa menyetok barang. Prinsip
saya, walau saya ‘di rumah saja’, tapi saya harus mengoptimalkan potensi saya,
saya harus punya karya. Bismillah.