Kamis, 16 Juli 2020
Siang hari itu, bersama
teman-temanku, aku asyik bertemu via online
dengan mereka. Sudah hampir 4 bulan lamanya kami tak bertemu langsung (biasanya kami
selalu bertemu satu kali seminggu dalam pengajian rutin), hal ini dikarenakan
masa pandemi yang masih saja ada. Kami sibuk bersapa ria dan menyapa satu sama
lain. Acapkali kami tertawa, karena ada salah satu teman kami yang menyatakan,
“Ibu-Ibu lama tak berjumpa, pipinya makin tembem
ya?,” lantas kami pun tertawa bersama. Ya, memang, terlalu lama di rumah
membuat angka timbangan makin bergeser ke kanan. Ya habis mau bagaimana lagi,
kondisi di rumah menjadikan kami semakin kreatif di dapur, di mana hal ini
berimbas pada selera makan yang semakin tinggi.
Satu teman kami bergabung beberapa
saat kemudian, ternyata saat itu ia sedang memasak. “Ibu-Ibu maaf ya, aku
memasak sembari videocall, gakpapa kan ya? Soalnya sekalian mau
siapin makan siang suamiku,” ucapnya sambil mengaduk-aduk sambal udang yang
sedang ada di atas wajan.
“Iya tidak apa-apa,” ujar kami
serentak.
Terdengar juga suara ia sedang
mengobrol dengan seseorang di rumahnya. Mereka berbicara dengan bahasa yang tidak kami mengerti, karena memang temanku ini berasal dari negara Zanzibar (salah satu negara di
kawasan benua Afrika), namun ia juga sudah fasih berbahasa Indonesia karena sudah lama tinggal di Indonesia.
pict by merdeka.com |
“Bu Khai, suara speakernya disilent saja
Bu, biar gak kedengaran,” ucap salah
satu temanku.
Namun sepertinya temanku ini terus
saja sibuk di dapur dan mengobrol dengan lawan bicaranya di rumah. Ketika tiba saatnya ia
mengaji (kami mengaji secara bergantian sebelum memulai kajian), ia pun mengaji
dan kemudian kembali sibuk. Dan tentunya speaker
handphonenya sama sekali tidak disilent sehingga kami bisa mendengar
percakapannya.
***
Senin, 20 Juli 2020
Ba’da Maghrib
Satu pesan whatsapp masuk di group pertemanan kami.
“Innalillahi
wainna ilaihi roji’uun, telah berpulang ke rahmatullah, suami dari Ibu Khai
pada Senin, 20 Juli 2020 jam 5 sore.”
Ya Allah, aku sontak kaget membaca
pesan tersebut. Bukannya baru hari Kamis kemarin aku dan teman-temanku baru mendengarkan bu Khai sibuk menyiapkan makan
siang untuk suaminya di dapur?. Ya Allah, betapa tiba-tiba, aku sama sekali tak
menyangka.
Tentunya aku sedih mendengarkan berita tersebut, aku tahu
bagaimana rasanya ditinggalkan orang yang paling disayangi. Walaupun hingga
saat ini aku belum pernah ditinggalkan selamanya oleh orang terdekatku, tetapi
aku dapat merasakan bagaimana sedihnya ditinggalkan. Sesaat aku menjadi seperti
orang yang benar-benar baper, aku
langsung membayangkan wajah suami Ibu Khai yang pernah aku lihat sekilas saat
beliau menjemput Ibu Khai saat kami pulang dari pengajian rutin beberapa bulan
lalu.
Saat itu bu Khai bercerita pada kami
bahwa ia akan dijemput oleh babang tamvan
(sebutan sayangnya) untuk suaminya. Aku sempat mendengar sekilas bu Khai
berbicara pada suaminya dengan menggunakan bahasa Indonesia yang ada di atas
mobil, bahwa ia ingin membeli bunga sebentar di depan jalan sebelum pulang.
Suaminya pun mengiyakan sembari tersenyum dan tetap menunggu di atas mobil.
Sempat juga suaminya tersenyum menyapaku yang saat itu sedang menggendong Ayya.
Ah… rasa-rasanya semuanya terasa cepat terjadi, betapa tiba-tiba, kini suami
ibu Khai telah pergi untuk selama-lamanya.
***
pict. by pixabay.com |
Berusahalah
untuk selalu saling menyayangi dan menghargai.
Jujur perasaan takut kehilangan
sudah seringkali membayangi diriku. Apalagi aku juga sempat dibuat baper saat BCL tiba-tiba ditinggal
selamanya oleh suaminya beberapa bulan lalu. Betapa tidak, hanya dalam hitungan
menit, mereka pun berpisah untuk selamanya. Tentunya merupakan suatu hal yang
sama sekali tidak diinginkan. Ketika kita ingin selalu bersama, ketika kita
ingin menghadapi kehidupan bersama, justru kenyataan berkata lain, kita harus
berpisah dengan orang yang amat kita sayangi untuk selamanya.
Belum lagi kisah tentang temanku sesama
rekan pengajar, yang baru saja menikah dalam hitungan kurang dari setengah
tahun, harus ditinggal tiba-tiba selamanya oleh suaminya karena mengalami
tekanan darah tinggi. Padahal kami sempat berfoto bersama saat aku melaksanakan
resepsi tahun 2018 lalu. Betapa tiba-tibanya, betapa kabar itu membuatku
terkejut.
Namun mau diapa, kesemuanya itu
adalah takdirNya, kita hanya bisa menerima, kita hanya bisa menjalani apa yang
telah ditakdirkan. Dari kesemua ini, aku kembali menyadari, bahwa kebersamaan
yang telah digariskan ini, maka harus benar-benar disyukuri, harus benar-benar
dijalani dengan sebaik-baiknya. Kita harus senantiasa saling menyayangi dan
menghargai. Sebagai seorang istri tentunya, sudah sewajibnya kita melakukan
yang terbaik, memberikan pelayanan yang terbaik.
Berusahalah untuk tetap tersenyum
dan sabar walau hati terkadang getir. Berusahalah untuk memberikan hal terbaik,
semisal menjaga rumah agar tetap rapi dan bersih, memasak masakan terbaik dan
mengurus anak-anak dengan sebaik mungkin. Selain itu, selalu menjadi pendengar
yang baik, saat pasangan kita sedang berbicara, senantiasa mendukung dan
mengingatkan dengan baik jika ada hal yang keliru. Tentunya kesemua hal ini
bisa diusahakan, bisa untuk dilakukan. Memang tidak menutup kemungkinan,
seringkali terdapat juga silang pendapat, terdapat rasa kesal atau marah.
Namun, ada baiknya kesal dan marah secukupnya saja, jangan berlebihan dan tetap
saling menghargai. Karena kita tak pernah tahu, bisa jadi hari ini adalah hari
terakhir kita menjadi suami atau hari terakhir kita menjadi istri.
Berdoalah
agar senantiasa diberikan rumah tangga yang berumur panjang dan berkah.
Apapun yang kita jalani, hari ini atau pun keesokan hari,
sudah sepatutnya diiringi dengan doa, begitupun dengan segala sesuatu yang kita
inginkan. Setiap pasangan yang telah menikah, pasti menginginkan hidup bersama hingga
kehidupan senja menyapa. Oleh karenanya, sematkanlah doa tersebut dalam setiap
doa kita, karena apapun itu mintalah pada yang Kuasa. Mintalah kehidupan yang
berkah dan bermanfaat dan umur yang panjang. Mintalah agar senantiasa merasa
bersyukur dari hari ke hari dan bersyukur karena telah diberikan pasangan hidup
yang senantiasa menemani.
Mengapa dalam bagian ini aku menuliskan meminta rumah tangga
yang berumur panjang dan berkah? Karena terkadang ada beberapa rumah tangga
yang tidak berkah walau berusaha untuk terus bersama. Seringkali suami sudah
merasa bosan akan kehadiran istri, atau istri yang seringkali mengeluh karena
mengurusi kehidupan rumah tangga secara terus-menerus atau kehidupan rumah
tangga yang acapkali berisi pertengkaran di dalamnya. Tentunya hal ini bukanlah
hal yang diinginkan. Tentunya hal yang diinginkan adalah saling merasa nyaman
dan saling merasa damai. Oleh karenanya, mintalah pada yang Maha Kuasa,
mintalah senantiasa diberikan kebersamaan dalam waktu yang panjang dan tentunya
senantiasa dalam keberkahan.
pict by pixabay.com |
***
Pagi ini cerah, pagi ini udara begitu sejuk. Semoga suasana pagi yang cerah ini dapat
menjadikan kehidupan kita penuh kesyukuran. Semoga apa yang terjadi pada kita apapun itu
takdir yang telah tertulis, dapat kita lalui dengan penuh ketabahan, dengan
penuh kesabaran. Semoga, pada kita yang saat ini dikaruniakan kebahagiaan, kita
dapat mensyukurinya dengan secukupnya dan juga sebaliknya, pada kita yang
sedang dirundung duka, kita mampu untuk menjalaninya dengan penuh penerimaan.
Karena apapun yang terjadi di dunia ini, keseluruhannya adalah suatu hal yang
yang telah digariskan, suatu hal yang telah ditetapkan.
-....., dan tiada
sehelai daun pun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya pula, dan tidak jatuh
sebiji butir pun dalma kegelapan bumi, dan tidak sesuatu yang basah atau yang
kering, melainkan tertulis dalam kitabyang nyata (Lauh Mahfudz) (Q.S . Al An’am
59)-
Sepotong
Hikmah, Jakarta, 2020