Adalah
suatu perjanjian, yang menjadi sebuah pengharapan. Di sana, secara tidak
langsung terdapat sumpah dan nanti kau akan diminta pertanggung jawabannya.
Apalah artinya, jika menjadikan harapan, apalagi yang menyangkut kebanyakan
orang. Begitupun manusia, lahirnya pun berdasarkan suatu perjanjian, pada
kepunyaanNya. Pada Dia. Adakah suatu hal, yang menjadi perenungan, disitulah
nanti, engkau akan menambatkan suatu kekecewaan, engkau akan terdiam, ketika
beberapa jiwa itu akhirnya kemudian terbang menghunuskan pedangnya pada dirimu,
lalu mereka menangis, karena tidak sengaja. Lalu, kau bisa apa? Bisa menerima?
Atau kemudian berjanji kembali, namun, waktumu sudah habis. Perjanjian, tidak
akan menjadi hal yang sederhana, seserdehana pakaian Ibu yang bersahaja dengan
keanggunannya, yang tidak pun seperti itu menjadi pongah. Hai, yang kemudian
terlahir dari perjanjian, yang senantiasa ingkar. Begitupun semua dari itu,
merekah, kemudian mekar, menjadi lembayung dan akhirnya layu, terbungkus oleh
rasa kepalsuan yang kian menjadi benang tak berurai.
Dan
itu pun akhirnya, datanglah sebuah pengandaian, lalu di mana keberanian itu?
Jika mungkin tak juga kau pahami, bahwa, ada jiwa-jiwa yang kemudian meminta
dirimu, hadir, hadir di sana melabuhkan sebuah pengharapan, melabuhkan setitik
harapan.
Sebelumnya,
jika ada nurani di sana, engkau pun akan tahu, ada suatu kenikmatan, jika janji
itu terpenuhi, ada nada-nada indah di sana. Tawa mereka, canda mereka, hingga
akhirnya kau melihat, bahwa ada yang mereka tunggu, ada yang mereka nantikan.
Masih menunggu, jikalau akhirnya ada, mereka masih ingin dihadapkan pada
pelangi itu, pelangi pengharapan. Semangat kami tentunya masih ada, masih ada
untuk sekedar mengingatkan, jikalau mampu, adakah kau mampu, melihat,
berpendar, mengalun kelopak itu, hingga akhirnya hujan pun turun, melahirkan wewangian,
yang sejatinya membaui tanah.
Seprosa
indah, sepuisi makna, seteratur sabdaNya. Itulah yang dapat diceritakan.
Sepenggal Kisah
Kemarin, ada tayangan tentang seseorang,
tepatnya wanita muda berusia 20 tahun. Berparas cantik, dengan rambut sebahu,
berkulit putih, bertubuh langsing. Ketika aku memperhatikannya, sungguh
beruntung jalan hidupnya dan bisa jadi aku iri karenanya. Tentunya, aku sama
sekali tidak iri dengan parasnya, melainkan, ada hal lain yang sejatinya
membuatku kembali bersemangat ketika memerhatikannya. Dia seorang pengajar,
atau lebih tepatnya, pengajar ‘relawan’ yang mengajar di kelas kecil dengan
murid sekitar 8 orang. Ruang kelas itu nyaman, teratur, dengan cat dinding
berwarna hijau yang menambah kesejukan mata yang memandangnya. Seragam
anak-anaknya pun senada dengan cat dinding ruangan kelas itu, namun ada motif
kotak-kotak pada bawahan seragam mereka. Murid-muridnya duduk rapi, mereka
sangat antusias dengan pengajar cantik yang mengajarkan materi sederhana, yang
bertema impian. Sekilas wajahku tergugu, “aaah… aku rindu kelas-kelas itu dan
murid-muridku. Apakah mereka masih ceria? Atau masih sering bercanda? Atau
apakah masih saja menggunakan kaos kaki selepas sekolah ketika masuk ruang les?,”
kenanganku kembali.
Ya, tidak lebih dari dua tahun lalu, aku
adalah pengajar. Lebih tepatnya aku mengajar anak-anak SD di sebuah bimbingan
belajar. Aku sangat mencintai dunia pendidikan, oleh karenanya aku sangat
bahagia ketika menjadi pelajar ataupun pengajar hingga saat ini. Pengajar,
merupakan profesi yang sangat mulia, karena suatu pendidikan jika dilakukan
dengan sempurna dan sesuai, akan melahirkan generasi yang luar biasa, tidak
hanya cerdas melainkan tangguh. Aku mengajarkan mata pelajaran IPS, karena
sedari SMA aku memang merupakan siswa dari jurusan IPS. Menurutku, IPS itu
menyenangkan, suatu ilmu yang selayaknya menjadikan kita bisa berpetualang,
kemanapun, ke seluruh dunia. IPS (Ilmu Pengetahuan Sosial), suatu jurusan yang
sama sekali tak terbayangkan akan menjadi suatu masa depan bagiku, karena
tadinya aku sangat ingin masuk kelas Bahasa ketika SMA, namun Ibuku tidak
mengizinkan, hingga akhirnya aku lebih memilih untuk menurut setelah berdebat
panjang dan berakhir air mata. Namun, saat ini, entah mengapa aku merasa
beruntung karena memasuki jurusan itu, karena aku bisa mengetahui berbagai hal,
mulai dari kehidupan sosial masyarakat yang tentunya amat rumit (sosiologi),
memanajemen keuangan dan perekonomian (ekonomi), mengetahui keberagaman alam
beserta unsur lapisan bumi (geografi) dan tentunya politik yang rumit namun
asyik (sejarah dan kewarganegaraan).
Kembali
lagi, dengan perjalanan sebagai pengajar.
Mengajar itu menyenangkan, kita bisa
memahami karakter berbagai orang melalui murid-murid kita, dan tentunya kita
dituntut untuk memahami dan mempelajari materi yang diajarkan dengan penuh
kesabaran dan ketenangan. Ya pada intinya, menjadi pengajar memang harus
cerdas, karena mengajar bukan sekedar pintar saja, tetapi kita juga harus
memahami kondisi dan metode apa yang tepat untuk digunakan di suatu kelas.
Mengajar itu menyenangkan, ketika engkau melihat wajah-wajah itu tertarik akan
apa yang kau sampaikan, tentang apa yang kau kusuguhkan, kemudian menjadi menu
paling nikmat dalam benak mereka.
Menjadi pengajar, tentunya bukan berarti
menuntut semua anak untuk mengerti apa yang kita sampaikan, menjadikan kondisi
dan suasana belajar yang menyenangkan merupakan suatu hal yang tentunya menjadi
hal yang lebih utama.
Simulasi di dalam ruang juga merupakan
suatu hal yang penting. Nah, ketika berbicara simulasi, ada baiknya, aku
kembali bercerita mengenai kondisi kelas yang ada pada tayangan televisi yang
kemarin aku tonton. Pengajar cantik tersebut maju ke depan kelas, dengan
membawa kertas warna-warni berbentuk kupu-kupu. “Nah, adik-adik, sekarang kakak
punya kertas warna-warni, kalian bisa menulis mimpi kalian di sini, mau jadi
apa nantinya. Oke? Cita-cita kalian apa?, nanti kertasnya dikembalikan lagi
ya,” ucapnya. “Iya Kak…,” jawab murid-murid kompak dan antusias.
Sekilas,
aku terbayang peristiwa beberapa bulan lalu yang aku lalui, dan tepatnya hal
yang terjadi di ruangan kelas tersebut sama terjadi denganku, bedanya sama
sekali tidak ada ruang kelas, hanya ada balai desa, hujan rintik dan anak-anak
yang sama antusiasnya dengan keadaan mereka. Ah… seketika aku rindu anak-anak
di desa itu, yang juga memiliki banyak impian selayaknya anak-anak di ruang
kelas tersebut.
Setelah kertas tersebut kembali
dikumpulkan, pengajar cantik tersebut membacakan tulisan yang mereka tulis. Dan
ternayata, mereka ingin menjadi polisi, presiden, designer, party planner, design interior. Sementara itu, anak-anak di
balai desa, menyebutkan mereka ingin menjadi guru, pegawai PLN, serta pemain
bola.
Waah sungguh cita-cita yang beragam dan
seluruhnya mulia. Ada yang menarik ketika salah satu murid di ruang kelas tersebut
dipanggil maju ke depan ruang kelas, karena impiannya menjadi seorang presiden.
“Kenapa kok kamu mau jadi Presiden?” ucap guru cantik tersebut. “Aku kalau
nanti jadi presiden kan bisa merintah-merintah
tentaraku gitu, jadi aku bisa ngancurin negara,” ucap murid tersebut polos.
“Loh, kok ngancurin negara?” ucap guru cantik sedikit tercengang. “Maksudku,
aku mau ngancurin negara lain, jadi gak ada yang berani ma negaraku,” jawabnya sembari memutar-mutar ujung jaket hijaunya.
“Oooh.. gitu.., jadi nanti seperti belain negara gitu ya. Oke, great!” ucap guru cantik sembari
tersenyum. Aku pun tertawa di hadapan layar kaca. Luar biasa, melindungi
negara, anak sekecil itu punya pikiran secemerlang itu. Tentunya, semoga
menjadi cita-cita yang tercapai, tetap mulia dan berhasil melindungi negara
dengan kuasa serta nurani yang dimiliki nantinya.
Hal yang kemudian menjadi istimewa lainnya
yang menjadi hal yang perlu diperhatikan dan menjadi unik di kelas tersebut
adalah, ada salah seorang murid yang menuliskan impiannya, yang lebih dari satu
impian, tetapi seluruhnya berhubungan dengan design, nah itu dia tadi yang menuliskan ingin menjadi designer, party planner, serta design interior. “Kalau yang lain punya
cita-cita yag tergolong masih umum, nah yang satu ini cenderung terfokus pada
satu bidang yaitu design. Nah, dengan
umur yang masih seusia dia, itu sangat luar biasa!,” ucap guru cantik, ketika
diwawancarai seusai kelas berlangsung.
Ya, tentunya ada hal unik juga ketika aku
berada di balai desa, beserta anak-anak di sana. Ketika mereka diberikan
pertanyaan ingin memilih profesi apa, untuk simulasi permainan uji konsentrasi,
salah satu dari mereka menyatakan untuk menjadi pegawai PLN. Tentunya aku
sempat tertawa kecil, sembari membatin, “wah, luar biasa, jarang sekali ada
anak kecil ingin menjadi pegawai PLN, bisa jadi mungkin ayah atau orang
terdekatnya ada yang bekerja menjadi pegawai PLN.” Pada intinya setiap anak,
pasti memiliki impian yang tidak umum dan tidak biasa, walaupun berbeda tempat
dan keberuntungan.
Itulah salah satu inti dari pendidikan,
menjadikan anak didik berkarakter dengan memunyai impian yang luar biasa.
Tentunya, impian yang tidak umum dan cenderung ikut-ikutan, melainkan fokus pada kemampuan dan bakat yang
dimiliki.
Finally, menjadi pengajar adalah impian, karena bangsa akan menjadi besar
dengan memiliki pendidik yang luar biasa dan tentunya berkarakter. Memiliki
nurani kemanusiaan yang mulia, menghargai setiap kelebihan dan kelemahan para
pelajarnya, menciptakan suasana menyenangkan dan tentunya menjadi pemacu
semangat bagi setiap peserta didiknya. Sederhana, layaknya cerita di Sokola
Rimba atau pun Laskar Pelangi, di mana ada guru yang benar-benar merelakan
hidupnya demi kemajuan anak didiknya, dan pada akhirnya membuktikan suatu
pencapaian luar biasa, yaitu kesuksesan.
Sederhana, seluruhnya dapat berjalan dengan
baik, begitupun menjadi pendidik, tak harus dengan ruang belajar yang senyaman
di layar kaca, yang bercat hijau serta seragam yang berwarna sama. Di balai
desa pun akan menjadi menyenangkan, karena ada ketulusan dan semangat di dalamnya.
Rindu
Desa Binaan, Pengajar Suka Rela.
3Latepost