Walaupun banyak cerita di luar sana, namun cerita tentang
sebuah kelas tetap menjadi cerita favorit saya hingga saat ini.
Sumber Gambar http://hi.fisipol.ugm.ac.id |
Saya adalah
seorang pengajar muda, lebih tepatnya orang yang berprofesi mengajarkan
beberapa hal di sebuah Universitas. Jujur saja, untuk saat ini, saya lebih
senang dikenal sebagai seorang pengajar dibandingkan seorang dosen. Karena
menurut saya, jam terbang mengajar saya belum terlalu banyak dan belum terlalu
berpengalaman. Hal ini dikarenakan saya baru saja menjadi pengajar sejak awal
September 2016 lalu.
Menjadi
seorang pengajar adalah pilihan yang saya pilih. Ya, pilihan yang bukan karena
pilihan orang lain atau pun dikarenakan karena ajakan dari teman atau sahabat.
Saya sangat ingin menjadi pengajar sejak awal saya masuk kuliah S1 (Saya adalah
salah satu alumni Fisipol UNIB jurusan Ilmu Komunikasi). Walaupun nota bene saya adalah mahasiswa Fisipol
saat itu, tetapi saya sangat ingin sekali menjadi pengajar.
Berdasarkan hal
tersebut, sejak awal saya sudah meniatkan untuk melanjutkan studi lanjut usai
lulus S1 nanti. Hal ini dikarenakan, untuk menjadi seorang pengajar dari
jurusan FISIPOL tidak memungkinkan, dikarenakan khusus untuk sarjana S1, jika
ingin mengajar, maka haruslah berijazah dari Fakultas Pendidikan bukan Fisipol.
Pada awalnya,
saya dulu pernah memiih jurusan FKIP Bahasa Inggris di pilahan pertama saya saat
masuk Universitas, sedangkan ilmu komunikasi Fisipol adalah pilihan kedua saya.
Namun, dikarenakan grade FKIP Bahasa
Inggris saat itu tergolong tinggi, maka saya lulus di jurusan Ilmu Komunikasi. Saya
adalah salah satu mahasiswa yang masuk ke Universitas tanpa jalur tes pada saat
itu (hanya mengandalkan nilai raport atau disebut sebagai jalur PPA.
Penelusuran Potensi Akademik). Karena pengumuman Universitas menyatakan bahwa
saya telah dinyatakan lulus di jurusan Ilmu Komunikasi, maka saya berpikir
bahwa tidak masalah melanjutkan studi di jurusan ini, karena bidang komunikasi
juga merupakan bidang yang menarik untuk dipelajari. Selain itu, jujur saja,
saya waktu itu agak enggan untuk mengikuti tes bersama.
Perjalanan
kuliah dimulai, singkat cerita saya lulus tepat 4 tahun. Setelah lulus saya
berpikir untuk melamar pekerjaan. Namun, tak satu pun lamaran tersebut menerima
saya. Saya pun berulang kali mengajukan ‘proposal’ kepada orang tua untuk
melanjutkan studi, tetapi orang tua menyatakan agar saya bekerja dahulu baru
melanjutkan studi. Keinginan melanjutkan studi itulah, yang mungkin menjadikan
saya kurang serius dalam mengikuti setiap tes saat seleksi pencarian kerja.
Alih-alih
melamar sebagai seorang wartawan atau misalkan Humas di suatu perusahaan, saya
malah memilih untuk menjadi pengajar privat dan menjadi pengajar di salah satu
bimbingan belajar yang ada di Kota Bengkulu. Alhasil, akhirnya saya pun bekerja sebagai
pengajar privat dan bimbel. Ya, memang, secara finansial gaji saya tidak
seberapa, tetapi entahlah, di dalam hati saya, saya merasa bahagia ketika
melihat murid-murid saya dengan tingkah laku mereka masing-masing saat berada
di kelas.
Setelah satu
tahun menjadi pengajar les, di tahun kedua pasca lulus, saya memutuskan untuk
melanjutkan studi. Saya pernah mengikuti seleksi penerimaan beasiswa
pascasarjana, namun dinyatakan tidak lulus. Namun, karena memang sedari awal
saya sudah sangat berniat untuk melanjutkan studi, maka kedua orang tua saya pun
akhirnya mengizinkan saya untuk melanjutkan studi ke Universitas Pilihan saya
dengan biaya mandiri.
Dalam
perjalanan menempuh S2, banyak hal yang akan saya ceritakan nantinya, seperti
bagaimana tips dan trik saat mengikuti seleksi penerimaan mahasiswa baru untuk
pascasarjana, kemudian bagaimana caranya agar semangat mengerjakan tesis dan
bagaimana caranya agar tidak hanya menjadi mahasiswa saja saat menjadi
mahasiswa pasca. Namun untuk kali ini, justru saya akan lebih memfokuskan topik
tulisan ini, pada perjalanan saya menjadi pengajar, pasca menjadi seorang
Master di jurusan ilmu komunikasi.
Foto Wisuda PascaSarjana UGM, Juli 2016 |
==========================================================
Tidak jauh
dari hari kelulusan saya di Yogyakarta, saya kemudian didaulat untuk mengajar
di salah satu Universitas Swasta yang ada di Kota Bengkulu. Setelah itu berselang
satu semester, saya dipercaya sebagai salah satu tim pengajar di Universitas
Terbuka (UT) Bengkulu. UT merupakan salah satu institusi Negeri milik
Pemerintah. Di UT Bengkulu, proses belajar mengajar berlangsung di kelas salah
satu SMA/SMP Negeri, sehingga proses belajar mengajar hanya berlangsung dari
hari Sabtu-Minggu.
Lambang UT . Sumber : google.co.id |
Di UT, mahasiswa berasal dari beragam kalangan, tergantung
dari Pokjar/Wilayah belajar. Saat saya ditempatkan di Lebong (salah satu
kabupaten di Provinsi Bengkulu), rata-rata mahasiswa UT Lebong untuk jurusan
ilmu komunikasi adalah anak-anak yang memang baru lulus dari SMA atau maksimal
dua tahun telah lulus dari SMA.
Sementara di saat saya ditempatkan di Bengkulu Tengah (Benteng, merupakan salah
satu kabupaten di Provinsi Bengkulu), ada satu kelas yang berisikan mahasiswa
rata-rata berusia di atas 40 tahun (para pegawai BKKBN).
Suasana
mengajar, tentunya dipengaruhi juga oleh peserta ajar. Hal inilah yang saya rasakan
ketika saya mengajar mahasiswa yang usianya jauh di atas saya. Sesungguhnya,
bukan kali pertama saya mengajar mahasiswa yang umurnya jauh di atas saya,
namun saat mengajar di Benteng jumlah kuota mahasiswanya lebih banyak dari yang
sebelumnya. Biasanya, saya mengajar kelas karyawan di Universitas Swasta di
Bengkulu, mahasiswanya hanya berjumlah 7 orang, di UT Benteng ini saya mengajar
mahasiswa karyawan berjumlah 15 orang. Kebetulan, saat itu saya memegang kelas
penulisan karya ilmiah. Rata-rata mahasiswa saya usianya sama dengan Ibu saya,
mereka adalah para pegawai BKKBN yang diwajibkan untuk menempuh kuliah S1.
Saat awal
perkenalan, tidak ada rasa canggung
dalam diri saya, namun yang jadi persoalan adalah saya hanya berpikir keras,
bagaimana agar Bapak/Ibu ini bisa lulus dari mata kuliah ini. Intinya, setelah
menjalani masa perkuliahan selama 8 kali pertemuan (di UT, perkuliahan hanya
berlangusng 2 bulan untuk satu semester), para mahasiswa ini telah mampu
menuliskan satu kaya ilmiah sesuai dengan bidang keilmuan masing-masing. Saya
hanya terus memikirkan, metode apa yang akan saya gunakan untuk dapat
membimbing mereka satu persatu.
Proses
belajar mengajar pun berlangsung setiap minggunya. Setiap mengajar saya dengan
tulus menjelaskan bagaimana pedoman penulisan secara ilmiah, penulisan kutipan
dan daftar pustaka. Namun, ketika bimbingan, masih saja terdapat kesalahan yang
sama. Terkadang, ada mahasiswa yang tidak paham menuliskan idenya di dalam
latar belakang, selain itu, untuk pengutipan pun masih banyak yang belum benar.
Hal ini terjadi hampir setiap minggu. Saya rasanya ingin menyerah, mengapa
mereka sulit sekali paham? Namun, lagi-lagi saya tersadar, mereka bukan lagi
anak-anak seperti kebanyakan mahasiswa lainnya. Ada tanggung jawab lain yang
membuat konsentrasi mereka kurang fokus. Selain kuliah, mereka juga memiliki
tanggung jawab lain, yakni mengurusi urusan pekerjaan dan rumah tangganya
masing-masing. Selain itu, usia mereka pun tidak lagi muda.
Ada satu
cerita menarik dari kelas ini. Ada satu orang mahasiswa saya yang saya rasa
sangat bersemangat dalam menempuh perkuliahan. Usianya sudah lebih dari 50
tahun, tetapi jarak yang ia tempuh untuk bimbingan tidak menjadi masalah.
Dengan menggunakan sepeda motor, beliau pergi ke rumah saya untuk bimbingan
karya ilmiah, padahal jarak tempuh yang ditempuh cukup jauh dengan medan yang
tidak biasa (dari Bengkulu Tengah ke Kota Bengkulu).
Walaupun
dengan keragu-raguan pada saat perkuliahan (khawatir karya ilmiah para
mahasiswa tersebut tidak selesai), namun akhirnya karya tulis mereka rampung
sesuai dengan waktu yang ditentukan. Hari itu, di tanggal 15 Oktober 2017, kami
menutup kelas dengan makan bersama.
Suasana Makan Bersama, di perkuliahan terakhir kelas Karya Ilmiah, UT Bengkulu Tengah. Lokasi Belajar SMA N 1 Kembang Seri. |
Ya, cerita
tentang dunia pendidikan memang tidak akan pernah usai dan usang. Ada banyak
isah dan hikmah yang dapat diambil dari beragam potret pendidikan, khususnya
potret pendidikan di sekitar kita. Pendidikan bukanlah melulu soal nilai dan
penghargaan, namun di balik itu, ada perjuangan keras dan beragam tantangan
yang harus dijalani, baik itu dari para pengajarnya sendiri, maupun dari
peserta didiknya sendiri.
Desember,
2017. RekamJejak YueAyuu
sebagai pengajar muda,ada tips nggak yang harus dilakukan agar kita tidak gerogi menghadapi audiens yang lebih tua dari kita?
BalasHapuskalo saya pribadi Pak, yg penting kuasai materi pembelajaran Pak, selain itu perbanyak jam terbang mengajar juga penting, khususnya yg peserta ajarnya usianya jauh lebih tua dr kita. Karena, intinya mengajar selayaknya public speaking, semakin srg berlatih dan semakin paham materi maka kecenderungan untk grogi akan smkin berkurang. 😊😊
HapusSeru ya bisa bertemu dengan orang-orang yg bersemangat belajar seperti mereka. Sudah berumur tp ttp semangat belajar
BalasHapusIya Mbk Zefy.. itu menandakan bahwa kita harus lbh smngat lg belajarnya... jgn mau kalah ama beliau2 yg semangatnya msh ON sampe skrg... 😊
HapusWah salut banget sama salah satu mahasiswanya Mba. Yang muda aja belum tentu punya keinginan dan usaha kaya gitu. Makasih sharingnya, jadi terinspirasi untuk terus belajar. :)
BalasHapusMenjadi pengajar memang menjadi pilihan, karena jadi guru itu mesti jadi role model untuk siswanya
BalasHapusiya Mbk... Karena profesi pengajar it bkn profesi yg biasa, mmg hrs bnr2 berhati2 dlm berperilaku, krn kita akan dijadikan role model oleh peserta ajar. 😊
HapusWah,, keren!!! Semangat mencerdaskan bangsa ya kak ^^
BalasHapusMengajar itu soul..lanjutkan mbak..
BalasHapusAku dulu awalnya malah gak mau jdi pengajar atau guru mbak tpi ortu meminta utk kuliah di fkip. Langsung deh pilihan pertama ambil fkip B.Ing unib untungnya lolos di jalur undangan, nah pas kuliah dan sambil ngajar les baru deh mulai merasa nyaman jdi guru dan pengajar. Malah ketagihan deh haha
BalasHapusWah, ikut mengajar juga ya di UT. Mantap nih, makin banyak pengalaman mengajar akan semakin membuat kita kaya pengalaman. Termasuk menghadapi melakukan banyak orang
BalasHapusMantap mbak, duh gak bisa dibayangkan gimana groginya ngajar orang yg lebih tua dari kita.
BalasHapus